Setelah gelas yang berisikan arak bermutu rendah itu tereguk habis, lelaki itu menangis. Dia terisak menyesali perbuatannya. Bibirnya bergetar memohon ampunan Allah. "Aku bertobat, ya Ya Allah, Ya Rabbi. Aku berjanji takkan mengulanginya. Aku mohon ampunan-Mu."
Namun, baru saja ia mengakhiri pintanya, tanpa sadar tangannya telah menuang segelas lagi. Tenggorokannya kembali basah oleh arak. Setelah itu ia terisak kembali, memohon ampunan-Nya.
"Ini yang terakhir, ya Ya Allah, Ya Rabbi. Ampunilah...Aku bertobat. Aku akan berjalan pada ajaran agama-Mu."
Kelemahannya demikian kuat menguasai dirinya. Setiap kali ia menyadari kekeliruan perbuatannya, maka kelemahannya demikian kuat membentenginya. Itulah yang terjadi pada diri Syekh Mabruk yang tak pernah berhenti ingin bertobat, namun selalu terkalahkan oleh hawa nafsunya.
"Syekh", demikianlah orang-orang menjulukinya sebagai ejekan atas perbuatannya. Usianya 60 tahun, namun kondisi fisiknya memberi kesan seakan usianya telah seratus tahun lebih. Tua, dan tampak rapuh.
Ia ditemukan sewaktu bayi di pinggiran kaki lima dengan hanya terbungkus sepotong kain. Kemudian rumah yatim piatu adalah tempat ia dibesarkan. Setelah itu ia ditampung di tempat anak- anak nakal.
Hampir semua kejahatan pernah ia lakukan. Ia seakan berenang di dalamnya. Hingga tak heran jika hidupnya diwarnai dengan keluar masuk penjara.
Itulah hari-hari Syekh Mabruk, hingga berakhir dengan penjaga kubur. Demikian akrab ia dengan dunia barunya. Ia makan, minum dan tidur bersama mayat-mayat. Pada pagi hari ia merupakan seorang penjaga kubur yang baik. Namun begitu malam tiba, ia berbalik menjadi penjual mayat segar kepada para mahasiswa kedokteran dengan imbalan yang hanya bisa dipakai sebagai pembeli arak bermutu rendah, agar bisa mabuk demi menghilangkan impian buruknya.
Meskipun demikian, Mabruk termasuk penjahat yang memiliki kekhususan tersendiri. Ia seorang penjahat yang layak untuk dikasihani. Ia selalu menangisi perbuatannya yang tak pernah bisa ia tinggalkan. Ia merasa malu pada Allahnya. Hal itu dikesankan pada wajahnya yang senantiasa tertunduk. Batinnya seakan berkata bahwa tidak berhak orang sepertinya menerima kehangatan mentari, begitu juga menghirup udara bersih dan memasukkan makanan yang baik ke perutnya.
Sebenarnya ia tak pernah bergairah untuk berbuat dosa, jika bukan karena desakan memaksa. Setiap saat ia berupaya untuk menghindar dari segala macam kejahatan. Ia telah mencoba beristiqomah.
Mabruk berusaha sebatas kemampuannya untuk mengalahkan wataknya, namun wataknya dengan kuat berhasil menguasainya kembali. Telah dicoba untuk menekan kelemahannya, namun kelemahannya kembali menekan dirinya.
Akhirnya...Mabruk terisak-isak, merasa sebagai kumpulan yang terbuang. Kemudian ia berusaha melupakan semua yang dialaminya dengan tetes demi tetes, gelas demi gelas minuman arak. Kian banyak ia minum, kian terkapar ia di lembah kehinaan.
Mabruk merasa, Allah selalu mengincarnya. Entahlah dari mana muncul perasaan itu. Yang jelas, ia senantiasa menggeliat resah di antara incaran mata Allah yang senantiasa terjaga. Ia merasa jijik terhadap dirinya sendiri. Perasaannya itu demikian melekat pada dirinya bagaikan jalannya pernafasan yang tak pernah bisa dilepaskan dari dirinya. Tak beda dengan seekor kecoa yang jatuh di cairan perekat, di mana setiap ia bergerak untuk meloloskan diri, semakin tenggelam ia ke dalamnya.
Keputusasaan bukan penyelamat dari bahaya maut, bukan pula jalan keluar dari sebuah persoalan. Itulah sebabnya Mabruk yakin, bahwa betapapun besar dosa yang ada pada dirinya, pasti ampunan Allah akan lebih besar lagi.. Sesungguhnya Allah tidak merasa beruntung akan ketaatan kita, dan tidak pula merasa rugi atas perbuatan dosa kita. Allah Maha Kaya terhadap diri-Nya di alam semesta ini. Allah Maha Kuasa Rahmat dan Pengetahuan-Nya. Yang Maha Pemberi tanpa pernah memerlukan bantuan dari siapapun. Semuanya membutuhkan-Nya. Semuanya miskin di hadapan-Nya.
Keyakinan itu membuat Mabruk tidak pernah berhenti menangis. Tidak pernah absen menanti terbukanya pintu rahmat, walau ia tahu kedua tangannya berlumurkan dosa. Semua orang mengetahui sejarah hidupnya. Di antara mereka ada yang mengejek, namun lebih banyak yang merasa prihatin akan nasib Mabruk yang memang kurang beruntung.
Ada beberapa orang yang datang dengan memohon pada Syekh Mabruk agar mendoakannya. Lalu ia menjawab permohonan mereka dengan cucuran air mata, "Syekh Mabruk mendoakan kalian?! Ah... Apakah kalian belum tahu? Aku ini bukan Syekh, bukan pula Mabruk yang artinya diberkati." Setelah itu ia menangis terisak-isak. Dengan gemetar tangannya merogoh saku baju gamisnya untuk mengeluarkan botol arak dari dalamnya. Air matanya mengalir deras di pipinya tereguk bersama-sama arak, kemudian ia berlari menuju ke lorong makam yang gelap, memohon ampunan dan maghfirah dari Allahnya.
Suatu hari, pagi-pagi sekali, Haji Ibrahim datang menemui Syekh Mabruk dan memberinya tugas untuk membuka pintu makam keluarga. Ini untuk putranya untuk kelima kalinya. Setiap tahun, kesedihan Haji Ibrahim selalu terulang. Karena setiap kali ia dikaruniai seorang putra, maka tidak begitu lama permata hatinya itu hidup.
Syekh Mabruk merasa terharu. Ia seakan dalam menyelami betapa hancurnya hati ayah yang berulang kali mendapat musibah itu. Ia seakan ikut larut dalam kesedihan ayah yang malang itu.
"Ini putraku yang kelima. Sementara putriku yang masih hidup menderita lumpuh sejak beberapa bulan yang lalu. Hanya dengan bantuan kursi roda ia bisa sedikit bergerak. Dokter yang menanganinya telah berkata padaku, bahwa tak ada harapan hidup lebih lama lagi bagi putri satu-satunya. Tak ada obat yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Kami hanya bisa menunggu waktu. Sebentar lagi kau akan menggali sebuah liang kubur lagi untuknya, putriku satu-satunya. Ya Allah, sebentar lagi akan menyusul lagi ke haribaan-Mu. Ya Rabbi, rahmat-Mu yang kunanti..."
Ayah yang malang itu kemudian merebahkan kepalanya ke dada Syekh Mabruk. Ia menangis seperti seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu yang bersamaan. Hati Syekh Mabruk koyak. Sedih. Dengan air mata yang mengalir deras, Haji Ibrahim berkata: "Aku mohon, doakanlah putriku agar ia pulih kembali, wahai Syekh Mabruk. Semoga karena bantuan doamu, Allah lalu menyembuhkannya."
Syekh Mabruk menanggapi permohonan Haji Ibrahim, dengan agak sinis: "Sesungguhnya engkaulah yang pantas mendoakannya daripada aku. Kau sudah haji. Sudah berkunjung ke makam Nabi. Sedang aku?! Aku hanya berkunjung dari penjara ke penjara dan rumah pemeliharaan anak-anak nakal. Ketaqwaan pada Allah telah kau saksikan. Bagaimana aku bisa
mengangkat wajah memohon doa untuk orang lain kepada Ya Allah, Ya Rabbi?"
Namun Haji Ibrahim mengulang kembali permintaannya dengan menangis. "Sampai parau suaraku memohon doa. Telah kulakukan shalat dan puasa, namun langit belum menyambut doaku. Aku mohon engkau dengan sangat, doakanlah putriku satu-satunya, wahai Syekh Mabruk. Allah lebih mengetahui isi hati manusia. Demi Allah, doakanlah putriku. Jangan engkau tolak permohonan ayah yang malang ini..." Haji Ibrahim kembali terisak. Betapa hancur hati Mabruk melihatnya.
Tiba-tiba...Syekh Mabruk menadahkan kedua tangannya tinggi-tinggi dengan penuh kesungguhan, walaupun wajahnya lebih berkesan seperti orang yang menahan malu menatap ke hadapan Allahnya. Dengan segala kerendahan hati dan di antara derai air matanya, ia memanjatkan doa kepada Allahnya.
"Ya Rabbi, sembuhkanlah ia, karena tiada yang dapat menyembuhkan kecuali Engkau. Ya Allah, berilah ia kesehatan, karena tiada yang bisa memberi kesehatan kecuali Engkau, ya Allah..."
Setelah Mabruk menyelesaikan doanya, tanpa terasa kedua orang itu bertangisan. Suatu peristiwa yang belum pernah mereka alami sejak kelahirannya. Tak lama kemudian mereka berpisah.
Keesokan harinya, Haji Ibrahim datang ke perkuburan mencari Syekh Mabruk. Ia mencari ke segenap penjuru, namun Syekh Mabruk masih belum juga ia temukan. Haji Ibrahim mencoba bertanya pada orang-orang yang berpapasan dengannya, "Di mana Syekh Mabruk? Tunjukkan padaku di mana ia berada! Putriku telah sembuh dari lumpuhnya. Ia bisa berdiri dari kedua kursi rodanya dan telah bisa berjalan sendiri. Dokter mengatakan peristiwa itu sebagai suatu mu'jizat. Kini aku mencari Syekh Mabruk, di mana aku bisa menemuinya?! Katakan, dimana?!"
Namun, sesungguhnya Haji Ibrahim tidak mengetahui. Fajar tadi, Syekh Mabruk telah berpulang ke rahmatullah. Ia meninggal setelah selesai mengucap permohonan ampunannya, sebagaimana yang biasa ia lakukan sesaat sebelum tidur. Mabruk senantiasa memohon kepada Allahnya:
"Ya Allah, Ya Rabbi, ampunilah aku. Tiada yang bisa mengampuni segala dosaku, kecuali Engkau. Ya Allah, Ya Rabbi, betapapun banyak dosaku, semuanya takkan membawa kerugian bagi-Mu. Dan betapapun banyak ketaatanku, takkan membawa manfaat sedikitpun bagi-Mu, ya Allah. Engkau Maha Kaya berkuasa di alam semesta ini.
Ya Allah, Ya Rabbi, betapapun besar dosaku, ampunan-Mu lebih agung dari semua itu. Betapapun besar kejahatanku, ihsan-Mu lebih besar dari semua yang ada.
Maha Suci Engkau ya Allah, begitu luas rahmat dan pengetahuan-Mu. Kasihanilah ya Allah karena kelemahanku dan ketidakmampuanku ini. Engkau telah berfirman bahwa manusia diciptakan dengan sifat lemah.
Ya Allah, terimalah dan tempatkanlah aku bersama golongan yang suka merendah diri dan selalu takut pada-Mu.
Ya Allah, Ya Rabbi, Engkau Allah dan aku hamba-Mu. Engkau wujud dan aku tiada. Maha Suci Engkau, aku tidak pernah memiliki dan berkuasa terhadap diriku sendiri, walau sedikitpun.
Ya Allah, Ya Rabbi, kuserahkan diriku pada-Mu. Kuserahkan segala kelemahanku pada-Mu. Kuserahkan hidupku pada-Mu. Tiada yang lebih mampu dan kuat kecuali Engkau ya Allah.
Karena Engkau, aku hidup. Karena Engkau, aku mati. Karena Engkau, Kau bangkitkan aku kembali. Karena Engkau, kuterima pengampunan. Dan karena Engkau aku dapat memasuki jannah-Mu..."
Denyut nafas Syekh Mabruk satu persatu keluar, lalu terbang ke langit menyambut datangnya fajar dan adzan Subuh. hidupnya diserahkan kembali pada Allahnya.
Dan berakhirlah kisah seorang manusia dari kumpulan terbuang yang banyak berbuat kejahatan, namun selalu mencoba mendekatkan dirinya kepada Allahnya. Sudah tentu, ia akan lebih baik daripada mereka yang selalu merasa paling taat, tapi kelewat sombong dengan ketaatannya itu.
Seorang yang diampuni Allah, karena ia tahu menempatkan dirinya. Meskipun ia berasal dari kumpulan yang terdampar. Meski- pun ia keluar dari pintu-pintu sempit, lorong-lorong menjepit....
* * * * *
-----------------------------------------------------------------
dari : Nuqthah Al-Ghalayaan (Titik jenuh liku-liku kehidupan)
oleh: Dr.Mustafa Mahmud
-----------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar