Saat Pemerintahan
Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499) Kehadiran Syekh Siti Jenar
ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh
imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang
ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena
belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu
tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik
sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau
tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar
dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai
kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan
berbeda-beda. Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan
manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal
disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan
sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan
hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan
sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung
oleh para Wali.
Siti Jenar dianggap
telah merusak ketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang
menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara,
merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu,
atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat
Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk
membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti
Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh
diri). Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah
politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam
yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara
salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng
Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R.
Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak
I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti
Jenar yang beragama Islam. Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain
Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti
Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar.
Menurut Bratakesawa
dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga
himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi
pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor
ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing
mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi
manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali.
Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan
bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan
Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah
rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922),
dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang
kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti
Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena
permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan
tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara
secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut
Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa
Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang
menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng
Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang
para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang
Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris
Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di
Anggaraksa/Graksan/Cirebon. Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng
Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R.
Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan
dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R.
Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki
Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat
dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah
Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak.
Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan
menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III
adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di
Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan Siti Jenar
diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang
mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia
tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing.
Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan
dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan
Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang
sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging,
yaitu kira-kira:
1.Siti
Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana
sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan
di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak
ada asal-usul serta tujuannya.
2.Hyang
Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan
berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap
sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip
atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari
ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan,
menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui
keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya
yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya.
3.Siti
Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat,
sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud
penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana,
tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan
yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang
terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah.
4.Segala
sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha
suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak
pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma
itu sebetulnya ada pada diri manusia.
5.Wujud
lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad
bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat
pancaindera.
6.Kehendak
angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal
atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan
pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka
disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai
penampilannya.
7.Bumi
langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk
bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia,
tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru.
Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R.
Tanojo dikatakan bahwa : Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di
lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar
cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar
yang sangat indah; Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum
terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena
itu ia juga mengaku sebagai Tuhan; Sedangkan mengenai dimana Tuhan,
dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci)
yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna
dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan
tanda yang merupakan wujud Hyang Widi; Hidup itu tidak mati dan hidup
itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi
kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang
ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia; Jiwa yang
bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan
manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat
Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah
wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan
Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa : Saat diminta menemui para Wali,
dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata; Ia
menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata,
dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah
sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula,
tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa
bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu,
hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut
DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat,
akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan
keramah-tamahan; Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu
yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran
manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut buku Pantheisme en Monisme in de
Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar
memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui,
yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang
kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga
sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah
oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan
(ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara
saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian. Siti
Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat
Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan
mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan
dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan
raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya
manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia
bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian. Siti Jenar memandang bahwa
pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan
dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya
pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek
terhadap obyek (proses intuitif).
Menurut Widji Saksono dalam bukunya
Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar
kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu
kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian
hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang
kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika
sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas,
yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga
ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak
lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling
Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah
dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan
segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud,
yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari
ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra
Tuhan/Hyang Widi. Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa
jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para
Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan
(Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan
Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan
kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah
penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang
tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan
tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap “subversif” yaitu
Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak
mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga
bergabung dengan Siti jenar). Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar
mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak
yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada
saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk,
yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan
pada semangat kebenaran. Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling
Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini
bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada
secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah
Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa.
Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya
dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya
Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat
“tak terbatas” (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata
untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan
memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri. Dikatakan
bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran
yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas
dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya
aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa
pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau
Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan
pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara
konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah
pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk
Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku.
Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting
dalam hidup ini. Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam
ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang
disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan
manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi
atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela.
Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan
kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak
mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci. Kesimpulannya, Manunggaling
Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan
sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada
ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya. Kita akhiri
kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan
kalimat berikut yang berbunyi : “Janganlah Anda mencela
keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau
keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri”. Sidang para Wali
Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia
mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar
telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini
bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa
itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira
wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian
mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan
memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba, mereka diberitahu
hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk
melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya. Sunan Giri
kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera
menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak
ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada
Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta
datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar
keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba
Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat
tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk
menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam
musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu
dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan
ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan
segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu
benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong
dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan
ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan
kafir.Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa
yang menjadi masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi
penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti
Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa
bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam,
karena seperti disampaika di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa
peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir
abad ke 15 M.
Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie sbb:
Pedah punapa
mbibingung, Ngangelaken ulah ngelmi, NJeng Sunan Giri ngandika, Bener
kang kaya sireki, Nanging luwih kaluputan, Wong wadheh ambuka wadi.
Telenge bae pinulung, Pulunge tanpa ling aling, Kurang waskitha ing
cipta, Lunturing ngelmu sajati, Sayekti kanthi nugraha, Tan saben wong
anampani.
Artinya:
Syeh Siti Jenar
berkata, untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit
ilmu? Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda
bersalah besar, karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak
semestinya. Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu
tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada
mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja
kepada setiap orang.
Ngrame tapa ing
panggawe Iguh dhaya pratikele Nukulaken nanem bibit Ono saben galengane
Mili banyu sumili Arerewang dewi sri Sumilir wangining pari Sêrat Niti
Mani . . . Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih
Seh Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng
sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih
ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni
hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah. Sarêng jaja sampun tinuwêg ing
lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar wiyosing ludira,
nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya
ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita. Kinanti Wau kang
murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh
ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti.
Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga,
salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi.
Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang,
êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani.
Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira,
ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika, neng kaanan ênêng êning.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar