Senin, 04 Juli 2011

KISAH SI MABRUK, DIRI YANG MERASA TERBUANG


Setelah gelas yang  berisikan  arak  bermutu  rendah  itu tereguk habis, lelaki itu menangis. Dia terisak menyesali perbuatannya. Bibirnya bergetar memohon ampunan Allah.  "Aku  bertobat, ya   Ya Allah, Ya Rabbi.   Aku  berjanji  takkan  mengulanginya.  Aku  mohon ampunan-Mu."
                         
Namun, baru saja ia mengakhiri pintanya, tanpa sadar tangannya  telah  menuang segelas lagi. Tenggorokannya kembali basah oleh arak. Setelah itu ia terisak kembali, memohon ampunan-Nya.
                         
"Ini yang terakhir, ya Ya Allah, Ya Rabbi. Ampunilah...Aku bertobat. Aku akan berjalan pada ajaran agama-Mu."
                         
Kelemahannya demikian kuat menguasai dirinya. Setiap kali ia menyadari kekeliruan perbuatannya, maka kelemahannya demikian kuat membentenginya.  Itulah yang terjadi pada diri Syekh Mabruk yang tak pernah berhenti ingin bertobat, namun selalu terkalahkan oleh hawa nafsunya.
                         
 "Syekh",  demikianlah  orang-orang  menjulukinya  sebagai ejekan  atas perbuatannya. Usianya 60 tahun, namun kondisi fisiknya memberi kesan seakan usianya telah seratus tahun lebih.  Tua, dan tampak rapuh.
                         
Ia ditemukan sewaktu bayi di pinggiran kaki  lima  dengan hanya terbungkus sepotong kain. Kemudian rumah yatim piatu adalah tempat ia dibesarkan. Setelah itu ia ditampung  di  tempat  anak- anak nakal.

Hampir semua  kejahatan  pernah  ia  lakukan.  Ia  seakan berenang  di  dalamnya.  Hingga  tak heran jika hidupnya diwarnai dengan keluar masuk penjara.
                         
Itulah hari-hari Syekh  Mabruk,  hingga  berakhir  dengan penjaga  kubur. Demikian akrab ia dengan dunia barunya. Ia makan, minum dan tidur bersama mayat-mayat. Pada pagi hari ia  merupakan seorang penjaga kubur yang baik. Namun begitu malam tiba, ia berbalik menjadi penjual mayat segar kepada  para  mahasiswa  kedokteran dengan imbalan yang hanya bisa dipakai sebagai pembeli arak bermutu rendah, agar bisa mabuk demi menghilangkan impian  buruknya.

Meskipun demikian, Mabruk termasuk penjahat yang memiliki kekhususan  tersendiri.  Ia seorang penjahat yang layak untuk dikasihani. Ia selalu menangisi perbuatannya yang tak  pernah  bisa ia  tinggalkan.  Ia merasa malu pada Allahnya. Hal itu dikesankan pada wajahnya yang senantiasa tertunduk. Batinnya seakan  berkata bahwa  tidak berhak orang sepertinya menerima kehangatan mentari, begitu juga menghirup udara bersih dan memasukkan  makanan  yang baik ke perutnya.
                         
Sebenarnya ia tak pernah bergairah  untuk  berbuat  dosa, jika  bukan karena desakan memaksa. Setiap saat ia berupaya untuk menghindar dari segala macam kejahatan. Ia telah  mencoba  beristiqomah.

Mabruk berusaha sebatas  kemampuannya  untuk  mengalahkan wataknya,  namun  wataknya dengan kuat berhasil menguasainya kembali. Telah dicoba untuk menekan kelemahannya, namun kelemahannya kembali menekan dirinya.
                         
Akhirnya...Mabruk terisak-isak, merasa  sebagai  kumpulan yang terbuang.  Kemudian ia berusaha melupakan semua yang dialaminya dengan tetes demi tetes, gelas demi gelas minuman arak.  Kian banyak ia minum, kian terkapar ia di lembah kehinaan.
                         
Mabruk merasa, Allah selalu mengincarnya. Entahlah  dari mana  muncul  perasaan  itu. Yang jelas, ia senantiasa menggeliat resah di antara incaran mata Allah yang senantiasa  terjaga.  Ia merasa  jijik terhadap dirinya sendiri. Perasaannya itu demikian melekat pada dirinya bagaikan jalannya pernafasan yang tak pernah bisa  dilepaskan  dari dirinya. Tak beda dengan seekor kecoa yang jatuh di cairan perekat, di mana setiap ia bergerak  untuk  meloloskan diri, semakin tenggelam ia ke dalamnya.
                         
Keputusasaan bukan penyelamat  dari  bahaya  maut,  bukan pula  jalan  keluar dari sebuah persoalan. Itulah sebabnya Mabruk yakin, bahwa betapapun besar dosa yang ada  pada  dirinya,  pasti ampunan  Allah akan  lebih  besar lagi.. Sesungguhnya Allah tidak merasa beruntung akan ketaatan kita, dan tidak pula  merasa  rugi atas  perbuatan  dosa  kita. Allah Maha Kaya terhadap diri-Nya di alam semesta ini.  Allah Maha Kuasa Rahmat  dan  Pengetahuan-Nya. Yang Maha Pemberi tanpa pernah memerlukan bantuan dari siapapun. Semuanya membutuhkan-Nya. Semuanya miskin di hadapan-Nya.
                         
Keyakinan  itu  membuat  Mabruk  tidak  pernah   berhenti menangis.  Tidak  pernah  absen  menanti terbukanya pintu rahmat, walau ia tahu  kedua  tangannya  berlumurkan  dosa.  Semua  orang mengetahui  sejarah hidupnya. Di antara mereka ada yang mengejek, namun lebih banyak yang merasa prihatin akan  nasib  Mabruk  yang memang kurang beruntung.
                         
Ada beberapa orang yang datang dengan memohon pada  Syekh Mabruk agar mendoakannya. Lalu ia menjawab permohonan mereka dengan cucuran air mata,  "Syekh  Mabruk  mendoakan  kalian?!  Ah... Apakah  kalian belum tahu? Aku ini bukan Syekh, bukan pula Mabruk yang artinya diberkati." Setelah itu ia  menangis  terisak-isak. Dengan   gemetar  tangannya  merogoh saku  baju  gamisnya  untuk mengeluarkan botol arak dari dalamnya. Air matanya mengalir deras di  pipinya tereguk bersama-sama arak, kemudian ia berlari menuju ke lorong makam yang gelap, memohon ampunan  dan  maghfirah dari Allahnya.
                         
Suatu hari, pagi-pagi sekali, Haji Ibrahim datang menemui Syekh  Mabruk  dan  memberinya  tugas  untuk  membuka pintu makam keluarga. Ini untuk putranya untuk kelima kalinya. Setiap  tahun, kesedihan  Haji Ibrahim  selalu terulang.  Karena setiap kali ia dikaruniai seorang putra, maka tidak begitu lama permata  hatinya itu hidup.
                         
Syekh Mabruk merasa terharu. Ia  seakan  dalam  menyelami betapa  hancurnya  hati  ayah yang berulang kali mendapat musibah itu. Ia seakan ikut larut dalam kesedihan ayah yang malang itu.
                         
"Ini putraku yang kelima. Sementara  putriku  yang  masih hidup menderita lumpuh sejak beberapa bulan yang lalu. Hanya dengan bantuan kursi roda ia  bisa  sedikit  bergerak.  Dokter  yang menanganinya  telah berkata  padaku, bahwa tak ada harapan hidup lebih lama lagi bagi putri satu-satunya. Tak ada obat yang  dapat menyembuhkan  penyakitnya. Kami hanya bisa menunggu waktu. Sebentar lagi kau akan menggali sebuah liang kubur lagi untuknya,  putriku satu-satunya. Ya Allah, sebentar lagi akan menyusul lagi ke haribaan-Mu. Ya Rabbi, rahmat-Mu yang kunanti..."
                         
Ayah yang malang itu  kemudian  merebahkan  kepalanya  ke dada Syekh Mabruk. Ia menangis seperti seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya dalam waktu yang bersamaan. Hati Syekh Mabruk  koyak.  Sedih. Dengan  air  mata yang mengalir deras, Haji Ibrahim berkata: "Aku mohon, doakanlah putriku agar ia pulih kembali, wahai Syekh  Mabruk.  Semoga  karena  bantuan  doamu, Allah lalu menyembuhkannya."
                         
Syekh Mabruk menanggapi permohonan Haji  Ibrahim,  dengan agak  sinis:  "Sesungguhnya  engkaulah  yang  pantas mendoakannya daripada aku. Kau sudah haji.  Sudah berkunjung  ke  makam  Nabi. Sedang  aku?!  Aku hanya  berkunjung dari penjara ke penjara dan rumah pemeliharaan anak-anak nakal. Ketaqwaan  pada  Allah  telah kau saksikan. Bagaimana aku bisa
mengangkat wajah memohon doa untuk orang lain kepada Ya Allah, Ya Rabbi?"
                         
Namun Haji Ibrahim mengulang kembali permintaannya dengan menangis. "Sampai  parau  suaraku  memohon doa. Telah kulakukan shalat dan puasa, namun langit belum menyambut doaku.  Aku  mohon engkau dengan sangat, doakanlah putriku satu-satunya, wahai Syekh Mabruk. Allah lebih mengetahui isi  hati  manusia.  Demi  Allah, doakanlah  putriku.  Jangan  engkau  tolak permohonan  ayah yang malang ini..." Haji Ibrahim kembali terisak. Betapa hancur  hati Mabruk melihatnya.
                         
Tiba-tiba...Syekh  Mabruk  menadahkan   kedua   tangannya tinggi-tinggi  dengan  penuh kesungguhan, walaupun wajahnya lebih berkesan seperti orang  yang  menahan  malu  menatap  ke  hadapan Allahnya.  Dengan segala kerendahan hati dan di antara derai air matanya, ia memanjatkan doa kepada Allahnya.
                         
"Ya Rabbi,  sembuhkanlah  ia,  karena  tiada  yang  dapat menyembuhkan  kecuali  Engkau.  Ya  Allah,  berilah ia kesehatan, karena tiada yang  bisa  memberi  kesehatan  kecuali  Engkau,  ya Allah..."
                         
Setelah Mabruk menyelesaikan doanya, tanpa  terasa  kedua orang  itu  bertangisan. Suatu peristiwa yang belum pernah mereka alami sejak kelahirannya. Tak lama kemudian mereka berpisah.
                         
Keesokan harinya, Haji Ibrahim datang ke perkuburan  mencari Syekh Mabruk. Ia mencari ke segenap penjuru, namun Syekh Mabruk masih belum juga ia temukan. Haji Ibrahim  mencoba  bertanya pada  orang-orang  yang berpapasan dengannya, "Di mana Syekh Mabruk? Tunjukkan padaku di mana ia berada!  Putriku  telah  sembuh dari  lumpuhnya. Ia bisa berdiri dari kedua kursi rodanya dan telah  bisa  berjalan  sendiri.  Dokter  mengatakan peristiwa  itu sebagai  suatu  mu'jizat.  Kini aku mencari Syekh Mabruk, di mana aku bisa menemuinya?!  Katakan, dimana?!"
                         
Namun, sesungguhnya Haji Ibrahim tidak mengetahui.  Fajar tadi, Syekh  Mabruk telah berpulang ke rahmatullah. Ia meninggal setelah selesai mengucap permohonan ampunannya, sebagaimana  yang biasa ia lakukan sesaat sebelum tidur.  Mabruk senantiasa memohon kepada Allahnya:
                         
"Ya Allah, Ya Rabbi, ampunilah aku. Tiada yang bisa mengampuni segala  dosaku,  kecuali  Engkau.  Ya Allah, Ya Rabbi,  betapapun banyak dosaku, semuanya takkan membawa kerugian bagi-Mu. Dan betapapun banyak ketaatanku, takkan membawa manfaat sedikitpun bagi-Mu, ya Allah. Engkau Maha Kaya berkuasa di alam  semesta ini.
                         
Ya Allah, Ya Rabbi, betapapun besar dosaku, ampunan-Mu lebih  agung dari semua itu. Betapapun besar kejahatanku, ihsan-Mu lebih besar dari semua yang ada.
                         
Maha  Suci  Engkau  ya  Allah,  begitu  luas  rahmat  dan pengetahuan-Mu.   Kasihanilah ya Allah karena kelemahanku dan ketidakmampuanku ini.  Engkau telah  berfirman  bahwa manusia diciptakan dengan sifat lemah.
                         
Ya Allah, terimalah dan tempatkanlah aku bersama golongan yang suka merendah diri dan selalu takut pada-Mu.
                         
Ya Allah, Ya Rabbi, Engkau Allah dan aku hamba-Mu.  Engkau wujud dan  aku tiada.  Maha Suci Engkau, aku tidak pernah memiliki dan berkuasa terhadap diriku sendiri, walau sedikitpun.
                         
Ya Allah, Ya Rabbi, kuserahkan diriku pada-Mu. Kuserahkan segala kelemahanku  pada-Mu.  Kuserahkan  hidupku pada-Mu. Tiada yang lebih mampu dan kuat kecuali Engkau ya Allah.
                         
Karena Engkau, aku hidup. Karena Engkau, aku mati. Karena Engkau, Kau bangkitkan aku kembali. Karena Engkau, kuterima pengampunan. Dan karena  Engkau  aku  dapat  memasuki jannah-Mu..."
                         
Denyut nafas Syekh Mabruk satu persatu keluar, lalu  terbang ke langit menyambut datangnya fajar dan adzan Subuh. hidupnya diserahkan kembali pada Allahnya.
                         
Dan berakhirlah kisah seorang manusia dari kumpulan terbuang  yang  banyak  berbuat kejahatan, namun selalu mencoba mendekatkan dirinya kepada Allahnya. Sudah tentu, ia akan lebih baik daripada mereka yang selalu merasa paling taat, tapi kelewat sombong dengan ketaatannya itu.
                         
Seorang yang diampuni Allah, karena ia  tahu  menempatkan dirinya. Meskipun ia berasal dari kumpulan yang terdampar. Meski- pun ia keluar dari pintu-pintu sempit, lorong-lorong menjepit....
                         
                                                         * * * * *
           
-----------------------------------------------------------------
dari :  Nuqthah Al-Ghalayaan (Titik jenuh liku-liku kehidupan)            
oleh: Dr.Mustafa Mahmud 
 -----------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Don't Forget Klick The Green Bird and Post You're coment Thank You.